Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

~Namanya Sedih~

Lama saya tak berjumpa dengan kawan saya yang bernama "Sedih". Padahal saya amatlah kesepian, jika Sedih datang nampaknya kamar saya seperti kapal pecah penuh sketsa hitam putih terpajang di 4 tembok persegi gagah yang melahirkan sedikit banyak imajinasi. Pensil saya tidak pernah tumpul untuk menggambar, walaupun saya tidak berniat untuk membeli pensil warna untuk menghidupi imajinasi saya. Padahal jika Sedih datang, saya akan suguhi dia dengan berbagai kuliner yang memanjakan perutnya. Sayangnya, perutnya juga perut saya. Dia memutuskan untuk tidak gemuk sendirian (dasar!). Sedih telah lama pamit ke black hole yang tak seorangpun tau,  termasuk saya (jika saya tau kemana rumahnya, saya akan ketuk pintunya untuk sekedar bercerita ini itu). Sedih datang dengan membawa berbagai benang katun, wol atau bulky untuk dihadiahkan pada saya. Biasanya saya senangkan dia dengan berbagai hasil rajutan saya baik topi hangat, scraft atau rajutan-rajutan lain yang tak berbentuk. Rindulah s

Sang Mutiara dari Priangan Timur

Tuanku sang mutiara dari Priangan Timur, Mengapakah setiap pertemuan adalah penyesalan? lidah saya kelu berbicara dengan tuan, oleh karenanya saya lebih sering diam jika bertemu dengan tuan. Saya benar-benar tak sanggup berkata apapun sejak saya dan tuan menciptakan impuls yang absurd. Tapi setelah pertemuan itu berakhir, menyesalah diri saya karena semua perasaan yang akan tumpah hanya tertahan di bibir saya. Apalah arti bertemu jika setelahnya kita berpisah? Tuanku, selama kita bersahabat, saya telah terlalu nyaman menjadi angin. Suatu zat netral yang tidak perlu dilihat karena memang saya tidak terlihat atau saya tidak menuntut untuk dirasakan. Mungkin karena saya takut kehilangan tuan. Tapi dengan adanya saya menjadi angin, maka lunturlah hak saya untuk merasa kehilangan. Atau jika tuan ingin meninggalkan saya, tidaklah perlu adanya bekas yang melekat di badan tuan atau sebaliknya. Sehingga tidak ada yang terdzolimi. Saya telah menimbang nasehat-nasehat tuan sebagaimana oran

Surat untuk Tuan Raspberry

Surat pertama  Tuan Raspberry, Kamu tau sunrise? Ah, mungkin pertanyaan saya salah. Biar saya ralat. 400 sekian hari yang lalu bukankah tuan telah menisbatkan sebuah sumpah tentang matahari di ujung senja merapi? Saat itulah saya kenal tuan. Tuan adalah Homo Tasikens, orang Tasik pertama yang saya kenal. Bukan orang kedua setelah Euis atau orang ketiga setelah Euis dan Cecep. "Kamu suka sunset?" Itu pertama kali tuan mempertanyakan soal kesukaan saya. Saya ingat, tuan bertanya diatas tatakan batu terjal hampir sejajar dengan arah matahari dan siluet puncak Merbabu sembari membawa barang 2 atau lebih batang kayu bakar untuk api unggun di Watu Gajah. "Siapa orang yang tidak suka sunset?" gumamku menggerutu di dalam hati. Saya cemburu padanya, karena bahkan saya menyukainya. "mmm...biasa saja. Tapi lukisan Tuhan tidak ada yang buruk" gengsi saya pada tuan sembari menengok belakang memperhatikan matahari yang semakin malu ditelan senja Merapi. Lukisan Tuh