Langsung ke konten utama

Bau Hujan Selalu Membawa Syahdu

selamat datang kembali hujan :)
Aura hujan memang membuat orang selalu dalam keadaan syahdu. Rintik airnya adalah nikmat Tuhan tiada banding. Turunnya hujan seolah merupakan penghibur Tuhan sebagai pereda keresahan. Tentang saya, kamu, dia atau mereka orang-orang terdekat kita yang menjelma dalam kenangan. Saya tidak tahu rasanya mejadi orang tua yang sedang bekerja diluar dalam keadaan hujan, bahkan keringat (tanda kerja keras) mereka pun terkamuflase oleh hujan. Seorang kekasih yang menangis karena kecewa, mungkin sedang menangis diluar sana dengan uraian air mata yang terkamuflase oleh air hujan juga. Teman-teman saya mungkin sedang semangat belajar dibawah suara hujan yang syahdu. Memang benar, hujan selalu saja syahdu. Jika bercerita tentang hujan, saya selalu teringat kejadian 17 tahun silam ketika ibu membawa saya berpisah dengan bapak dalam keadaan hujan, saya merangkul erat pinggang ibu saat kami sedang melakukan perjalanan senja melalui lereng gunung lawu. Ibu selalu menyuruh saya untuk melafalkan surat Al-Fatihah dan 3 surat terakhir juz 30 agar saya tidak terlelap dalam hujan senja. Dari hujan, kami diberi kekuatan lebih untuk menghadapi hari esok. Hujan membuat kami bersugesti bahwa seolah hari esok akan baik-baik saja. Ibu yang sibuk mengurus surat perceraian dan saya yang kesulitan meghafal huruf-huruf alfabet. Hingga hari ini saya menjadi mahasiswa, pun itu saya anggap sebagai pertolongan hujan sebagai bentuk komunikasi Tuhan untuk saya dan ibu. Tentang hujan, biarlah ia tetap menjadi sesuatu yang agung.
Bicaralah hujan kepada saya dan kamu. Tentang kamu yang selalu bertanya kepada saya saat itu "apakah kamu baik-baik saja?" berkali-kali, disamping adikmu yang seharusnya tidak mendengarkan kekhawatiranmu yang teramat besar kepada saya. Tentang hujan yang menahan saya berteduh lebih lama di rumahmu sehingga saya mulai sedikit mengenal orang tuamu. Tentang ibumu yang meminjami saya rok karena rok saya basah akibat hujan (bahkan saya tidak percaya sudah pernah memakai barang dari ibumu). Tentang adikmu yang mulai bercerita tentang teman laki-laki yang ia kagumi di sekolahnya. Tentang hujan ketika saya dan kamu dalam perjalanan pulang dan kamu berbagi mantel dengan saya lalu kamu meminta maaf kepada saya sambil memegang tangan saya dengan tangan kirimu sementara membiarkan tangan kananmu tetap menyetir "maaf ya, sudah membawamu hujan-hujan begini. Apakah kamu baik-baik saja?" Saya berterima kasih dengan menyalanya lampu merah saat perjalanan pulang kami di tengah jalan, bahkan itu seperti waktu yang berhenti untuk sementara. Hanya ada saya, kamu dan hujan yang berbicara. Entahlah, bau hujan tetaplah sama, membawa si pembau dalam keadaan syahdu. Tentang saya, kamu, dia atau mereka orang-orang terdekat kita yang menjelma dalam kenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perempuan Harus Bekerja (?)

Nah, ini topik hangat yang tak boleh tersingkir untuk dibahas. Mengapa perempuan harus bekerja ketika kelak ia menikah? Beberapa calon suami atau suami itu sendiri banyak yang menginginkan istrinya tetap di rumah dan memegang kendali penuh sebagai sekretaris sekaligus bendahara rumah tangga (ibu rumah tangga). Kesepakatan ini diharamkan ketika hanya bertujuan untuk tujuan pribadi dan mendzolimi yang lain (eh, kok langsung menghakimi "haram" emang aku siapah?? T.T) ketika memang suatu kesepakatan tidak menjadikan yang lain baik atau salah satu dirugikan atas kesepakatan tersebut maka kesepakatan itu sangat mendzolimi hehe..Tapi tidak sepenuhnya seperti itu. Banyak laki-laki yang masih berpendapat seperti itu karena ingin melindungi sang istri dari fitnah luar, takut istrinya kecapekan kalo harus bekerja luar dan dalam atau takut istrinya tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban pelayanan terbaik di rumah. Saya pribadi adalah salah satu yang ingin bekerja saja ketika menikah. Beri